Misteri Gua Di Bukit Katarina Kisaran Asahan
Kisaran.Metro
Sumut
Bukit
Katarina adalah nama sebuah bukit kecil di kawasan Kelurahan Sei Renggas, Kec.
Kisaran Barat, Kab. Asahan, Sumatera Utara. Lokasi ini tidak jauh dari RS. Ibu
Kartini, dan berada di dalam areal HGU PT. Bakrie Sumatera Plantations (BSP) di
tepi Sungai Silau. Oleh sebab itu, dibukit ini terdadapat tanaman pohon karet
perkebunan milik PT. BSP. Nama bukit Katarina itu sendiri menurut cerita dari
mulut kemulut diambil dari nama RS. Ibu Kartini yang dulunya sering disebut
dengan nama RS. Katarina. Konon, untuk pertama kalinya dokter di RS itu bernama
Dokter Chatherine yang ditugaskan dari negeri Belanda. Senin (03/04/2017).
Informasi
yang dihimpun Media ini, Jika dilihat sepintas, bukit Katerina merupakan
gundukan tanah biasa yang tingginya mencapai kurang lebih 50 meter. Tempat ini
sepertinya tidak terdapat hal-hal yang aneh atau luar biasa. Bahkan, ketika
terjadi gempa Nias, Sumatera Utara pada malam hari, sekitar pukul 23.00 wib,
beberapa tahun yang lalu, terdengar pula isu tsunami di wilayah Asahan. Tak
ayal, bukit Katerina menjadi tujuan masyarakat Kisaran dan sekitarnya sebagai
tempat mengungsi. Sehingga bukit tersebut penuh sesak dengan warga masyarakat.
Padahal isyu tsunami hanya isapan jempol, yang sengaja dihembuskan untuk
menciptakan suasana keruh dengan maksud agar masyarakat dilanda kepanikan.
Memang,
tidak banyak yang tahu bahwa ternyata bukit Katerina menyimpan misteri yang
hingga saat ini belum terpecahkan. Bagi seorang yang memiliki kemampuan
spiritual linuwih, atau yang memiliki indera keenam, pasti akan meresakan
sesuatu yang berbeda bila melawati temoat ini.
Menurut
kisah yang sudah ada sejak turun-temurun, pada sekitar abad XVII, bukit
Katerina adalah tempat bertempurnya panglima perang kerajaan Cina dengan Raja
Maria Pane ke-7 dari Buntu Pane Asahan, bernama Datuk Daurung. Kemudian setelah
bertarung adu kesaktian, tidak ada yang kalah dan menang, maka masing-masing
mengeluarkan aji pamungkas, yaitu menjelma menajdi seekor ular naga dan ikan
dundung. Keduanya lalu terjun ke sungai Silau. Mereka bertempur dengan
mengandalkan kesaktian masing-masing. Akan tetapi, ular naga jelmaan Panglima
Perang Cina dapat dipukul jatuh, tertusuk sanai (patil) dari ikan dundung
jelmaan Datuk Daurung. Naga itu meraung-raung menahan sakit dan menggelepar,
yang akhirnya terkulai hanyut dan terkapar di hilir sungai Silau tidak seberapa
jauh dari bukit itu. Setelah ratusan tahun kemudian, menurut cerita secara
turun temurun dan sudah menjadi semacam legenda di masyarakat, ular naga
jelmaan Panglima Perang Cina siuman dari pingsannya yang cukup lama. Diiringi
hujan lebat, petir sambung menyambung sehingga terjadilah banjir besar.
Kemudian
ular naga tersebut berkisar-kisar (berenang-renang) dan menghanyutkan diri
menelusuri Sungai Silau sampa sungai Asahan di kota Tanjung Balai). Selanjutnya
menuju ke Selat Malaka.
Perkampungan
di kawasan tempat naga berkisar tersebut akhirnya disebut dengan nama Kampung
Kisaran Naga. Sekarang menjadi Kelurahan Kisaran Naga dan kota yang berada di
dekat sungai Silau disebut dengan nama Kisaran, sebagai ibukota Kabupaten
Asahan.
Memang,
hingga saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti, kapan perkampungan itu
mulai disebut dengan nama Kisaran Naga, demikian juga nama Kisaran.
Kembali
ke bukit Katerina, Tim Jelajah Misteri mendapat penjelasan dari Sukino, seorang
buruh kebun Tanah Raja yang pernah menjalani rawat inap selama 14 hari di RS,
Ibu Kartini pada tahun 1971.
Sukini
berkisah. Saat itu, kebetulan malam Jum’at. Dia bermimpi didatangi seorang
laki-laki gagah perkasa berpakaian seragam kebesaran Cina. Kemudian diajak
masuk ke istana di bawah bukit Katerina.
Bibir
Sukino berdecak kagum karena istana tersebut sangat indah, diterangi
lampu-lampu gemerlapan, dengan hiasan istana bertatahkan ratna mutu manikam.
Kepada
Misteri, Sukino menceritakan. Dirinya disambut cukup hormat oleh punggawa dan
dayang-dayang istana. Kemudian dipersilahkan duduk di atas permadani lembut.
Distu talah tersedia pula bermacam ragam makanan yang tampaknya cukup lezat dan
mengundang selera makan.
“Selama
berada di istana gaib di bawah Bukit Katerina, rasanya saya tidak ingin pulang
karena suasana di ruangan itu sangat indah dan nyaman. Apalagi didampingi
wanita-wanita muda belia yang cantik rupawan,” cerita Sukirno.
Namun,
ketika akan mengambil makanan yang terhidang, tiba-tiba seperti ada kekuatan
gaib yang menarik tubuhnya ke luar dari istana. Di saat itulah, dia terbangun
dan yang ada hanya ruangan rumah sakit yang sepi. Hanya ditemani beberapa orang
pasien lain yang tertidur pulas.
Jam
dinding menunjukkan 03.15 wib. Sukirno merasa bersyukur tidak sempat menyantap
makanan di istana itu. “Jika tidak, mungkin saya akan terus berada di bawah
bukit Katerina menjadi budak dedemit yang tidak lain adalah makhluk halus
penjaga Gua Bukit itu,” tambahnya mengenang mimpi 36 tahun silam itu.
April
lalu, Misteri bersama Adi Sunarto coba menelusuri lebih jauh kemisteriusan gua
di bukit Katerina itu, dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana
keangkerannya. Di perapatan Simpang Kartini, persisnya persimpangan jalan
Lintas Sumatera menuju kota Pematang Siantar, kami berhenti makan di sebuah
warung kecil. Tak lama kemudian, datang seorang lelaki tua yang kami taksir
berusia hampir 80-an, singgah di warung yang sama. Bahkan kami diajak mampir ke
rumahnya.
Tawaran
kakek Samudi, demikian kami memanggilnya, untuk mampir, tentu tidak kami
sia-siakan.
“Mungkin
dari kakek tua itu kita mendapat informasi tentang misteri Bukit Katerina,”
ujar Adi Sunarto.
Kakek
Samudi mengendarai sepeda bututnya, sementara kami mengendarai sepeda motor
menuju rumahnya.
“Bila
sudah lihat rumah kecil berdinding papan, atap nipah dan di depannya ada pohon
bunga kenanga, di sebelah kiri jalan, itulah rumah saya,” kata kakek Samudi
sambil mengayuh sepedanya.
Sudah
tentu kami melaju lebih dahulu meninggalkan kakek tua itu. Akan tetapi, kami
tak habis pikir, setelah kami melihat sebuah rumah tua dan sederhana seperti
dijelaskan kakek Samudi, ternyata orang tua itu sudah menunggu di depan pintu.
Sepeda bututnya disandarkan di sebuah tunggul pohon kelapa di samping rumahnya.
Misteri
dan Adi Sunarto hampir tidak percaya apakah yang ada di depan pintu adalah
benar kakek tua itu adanya. Adi Sunarto membelokkan motornya ke rumah tua itu.
Dan benar, yang sudah menanti kedatangan kami di depan pintu adalah kakek
Samudi.
Misteri
bertanya dalam hati, ilmu apa yang digunakan kakek tua itu hingga dapat
mendahului kendaraan yang kami naiki? Sementara kami sendiri tidak melihat
kapan dia mendahului kami.
“Silahkan
masuk ke gubuk saya!” Ajak kakek Samudi mempersilakan.
Masih
dengan rasa heran bercampur takjub, kami masuk ke rumah sangat sederhana berukuran
5x7 meter, dinding papan yang sudah lapuk, lantai tanah dan atap nipah itu
Di
ruang tamu yang kecil dan sempit, ada sepasang kursi rotan yang reot, di
depannya terdapat sebuah meja terbuat dari papan yang sudah mulai dimakan
rayap. Kami memandangi beberap foto kusam terpajang di dinding.
Ketika
kami tengah asyik melihat foto sepasang pengantin sedang duduk di pelaminan,
kakek Samudi tiba-tiba berujar, “Itu gambar kami sewaktu jadi pengantin.”
Tanpa
peduli pada keterkejutan kami, dia lalu duduk sambil meletakkan tiga gelas air
putih. Untuk menutupi keterkejutan kami, Adi Sunarto memuji foto kakek Samudi
sewaktu masih muda. “Dulu waktu mudanya, kakek ganteng juga ya?” Kata sahabat
Misteri itu.
Orang
tua yang disebut dengan nama Samudi hanya tersenyum sambil mempersilahkan kami
minum.
Hampir
satu jam kami berbincang-bincang dengan kakek Samudi sekitar cerita Bukit
Katerina. Dari kakek itu, kami mendapat keterangan bahwa bukit itu pernah
dijadikan tempat pemujaan orang-orang Cina dengan membangun tapekong
dipuncaknya, karena memang dianggap keramat dan memiliki daya magis cukup kuat.
Menurut
kakek Samudi, di bawah bukit itu terdapat gua di dalam air berbentuk bangunan
kuno. Tapi kakek tua ini tidak dapat menjelaskan tahun berapa gua itu mulai
ada.
“Yang
pasti goa itu sudah lama ada di sana!” Katanya.
“Apa
kakek sudah pernah masuk ke gua itu?” Tanya Misteri.
Kakek
Samudi mengerutkan keningnya yang keriput, lalu menjawab; “Saya pernah
melakukan tapa brata di dalam gua itu, Nak, selama 40 hari,” ujarnya. Kakek tua
yang mengaku datang dari Jawa Timur ke Sumatera Utara sebagai kuli kontrak itu,
juga menceritakan bahwa pernah terjadi seorang laki-laki mati terbunuh di bukit
itu. Tapi tidak diketahui siapa pembunuhnya. Laki-laki yang terbunuh dengan
sangat mengenaskan. Kepalaya dipenggal hingga terpisah dari badannya.
Mendengar
cerita kakek Samudi tentang orangmati terbunuh itu, Misteri teringat ketika
suatu malam dibulan Suro tahun 2005, seorang penjual bandrek jatuh pingsan di
samping gerobak jualannya.
Setelah
sadar, dia menceritakan bahwa dia telah didatangi oleh orang yang ingin membeli
bandreknya, akan tetapi alangkah terkejutnya karena di keremangan malam itu,
dia hanya melihat orang itu hanya kepalanya saja tanpa badan.
Menjelang
maghrib, kami baru keluar dari rumah gubuk kakek Samudi. Sebelum kami pamit,
kakek tua itu berkata, “Kalau kalian mau menengok gua tadi, besok kalian bisa
datang lagi supaya dapat melihat dari dekat. Tapi kalian tidak bisa masuk ke
dalam gua itu tanpa saya. Karena gua itu cukup angker,” ujarnya.
Keesokan
harinya, seperti yang dijanjikan kakek Samudi, kami kembali berangkat ke rumah
si kakek tua. Jujur saja, kami sangat tertantang dengan pengakuannya yang
katanya sanggup menunjukkan gua di bawah bukit Katerina itu.
Akan
tetapi, keanehan menimpa kami. Ketika tiba di kelurahan Sei Renggas, kami
seperti orang kebingungan. Bagaimana tidak? Rumah kakek Samudi yang kemarin
kami kunjungi tidak ada lagi di pertapakannya.
“Mungkin
kita tersesat!” Kata Adi.
“Tak
mungkin! Karena jelas sekali ini rumahnya, ditandai ada tunggul pohon kelapa di
depan rumahnya,” jawab Misteri.
Akhirnya
kami memutuskan untuk menanyakan kepada penduduk yang tinggal tidak jauh dari
tempat kami mampir kemarin. Kami semakin bingung, karena menurut penjelasan
salah seorang penduduk, selama ini tidak ada rumah di kawasan itu dan tak ada
seorang kakek bernama Samudi. Jadi, siapa sebenarnya kakek itu? Sungguh
mengherankan!
Dengan
perasan kecewa bercampur heran, kami kembali dan memutuskan untuk mencari tahu
tentang keberadaan Bukit Katerina yang masih mengandung misteri. Menjelang
Dzuhur, kami sudah berada di bukit itu. Biarlah tak dapat masuk ke gua kaerna
kakek Samudi tidak ada, asalkan bisa mengambil gambar mulut gua itu.
Adi
Sunarto sudah standby denga kameranya menjepret Bukit Katerina dari jalan
Lintas Kisaran-Pematang Siantar. Lalu kami turun sedikit melihat bibir sungai
Silau untuk melihat gua di bawah bukit itu.
Akan
tetapi, mulut gua itu tidak dapat kami lihat dengan jelas, karena bibir gua
dari seberang sungai (dari Desa Tanjung Alam). Perjalanan dari Bukit Katerina
ke Desa Tanjung Alam memakan waktu sekitar 20 menit.
Di
Dusun II Desa Tanjung Alam, kami bertemu dengan Hartono yang dapat menunjukkan
tempat yang strategis untuk dapat mengambil foto mulut gua dibawa bukit
Katerina itu, karena lebar sungai hanya sekitar 30 meter saja.
Selain
mengambil foto, terjadi peristiwa yang cukup aneh. Dalam keadaan antara sadar
dengan tidak, kawasan di sekeliling tempat kami berdiri seketika berubah
menjadi gelap. Kemudian perasaan kami digandeng oleh seorang laki-laki
misterius berjalan di atas air sungai dan dalam tempo cukup singkat, kami telah
sampai di mulut gua di bawah Bukit Katerina.
Misteri
dan teman tak habis pikir, mengapa kami bisa berjalan di atas air seperti
layaknya berjalan di atas tanah? Setibanya di pintu gua, orang tua misterius
itu membawa kami masuk ke dalam gua yang gelap dan dingin.
Lelaki
tua itu segera menyalakan obor yang diambil dari dinding gua. Cahayanya
menyinari ruang di dalam gua itu. Kami sangat terperanjat, ketika dari sinar
obor itu kami lihat wajah lelaki tua misterius itu ternyata adalah kakek
Samudi.
Tanpa
berkata-kata sedikitpun, kakek Samudi membawa kami mengelilingi gua yang dingin
itu. Di sudut gua, kami melihat ada dua sinar bulat berwarna kuning keemasan.
Bau harum menusuk hidung. Kakek Samudi yang berjalan di depan segera duduk
bersila di hadapan sinar tersebut dan tanpa diperintah, kami mengikuti gerakan
kakek tua misterius itu.
Ternyata
sinar tersebut adalah sepasang mata dari sosok makhluk bermahkota yang duduk di
atas altar batu. Tampaknya seperti kepala seekor ular besar. Rasa takut mulai
timbul menyusul bulu roma kami yang berdiri tegak.
Kakek
Samudi mulai buka bicara, “Ampun Paduka, dua orang ini adalah cucu hamba yang
ingin mengetahui keberadaan gua ini. Mohonlah Paduka dapat memaafkan
kelancangan mereka.” Entah mengapa, kakek Samdi menyabut makhluk itu dengan
panggilan paduka.
“Ya,
aku tahu sejak kemarin ada orang ingin tahu tentang gua ini. Tapi maksudnya
baik,” jawab makhluk itu dengan suara berat menggetarkan ruangan gua. Bahkan,
kelelawar hitam yang bergelantungan didinging gua berhamburan keluar, sambil
bersuara gemuruh memekakkan telinga.
“Apa
yang kalian cari?” Makhluk aneh itu bertanya kepada kami.
Adi
Sunarto memandangi Misteri sejenak, kemudian memandangi wajah kakek Samudi.
“Ampun, Paduka! Mereka berdua tidak mencari atau menginginkan sesuatu. Cucu
hamba ini hanya ingin memastikan bahwa di bawah bukit ini memang benar ada
sebuah gua, jadi mereka meminta hamba untuk membawa mereka kemari,” jawab kakek
Samudi.
Gua
di dalam air, di bawah bukit itu terasa semakin mencekam. Udara semakin dingin
menusuk sumsum.
Makhluk
aneh itu kembali bersuara. “Baiklah, akan tetapi jika ingin datang lagi, kalian
harus membawa sesaji satu ekor ayam jantan berbulu wulung (hitam mulus),
ari-ari dari bayi laki-laki yang lahir hari Jum’at Kliwon dan bunga macan
kerah.
Ayam
dan ari-ari, kalian cemplungkan ke air sungai Silau dan ketika itu kalian akan
sampai ke mulut gua ini. Kemudian taburkan bunga macan kerah ke pintu gua dan
dayang-dayangku akan mempersilhakan kalian masuk.” Ujarnya panjang lebar.
Tak
lama kemudian, sinar mata makhluk itu meredup dan padam. Gua kembali menjadi
gelap. Kakek Samudi memberi hormat, lalu berdiri dan berjalan menuju mulut goa.
Kami mengikutinya dari belakang.
Anehnya,
kami tidak sadar kapan kakek Samudi membawa kami keluar gua dan menyeberangi
sungai seperti tadi, saat kami pergi.
Yang
pasti, tiba-tiba saja kami sudah berada di seberang sungai, tempat kami tadi
mengambil foto mulut gua itu. Bahkan yang tak kalah aneh, kakek Samudi pun tak
ada bersama kami lagi.
Dalam
kebingungan, kami mengingat-ingat pesan makhluk aneh tadi. Kalau ayam jago
wulung dan kembang macan kerah amat mudah kami peroleh. Akan tetap tentang
ari-ari jabang bayi laki-laki yang lahir pada hari Jum’at Kliwon, disamping
sangat sulit juga tidak mungkin kami bisa mencarinya.
Matahari
telah condong ke barat, sebab tanda hari sudah sore. Kami pun bergegas pulang
dengan membawa pengalaman spiritual yang tak mungkin bisa kami peroleh lagi di
tempat lainnya. Namun, ada sedikit penyesalan, mengapa kami tidak menanyakan
kepada kakek Samudi siapa atau makhluk apa yang bersemayam di dalam gua di
bawah bukit itu?
Misteri
juga terlupa tidak menanyakan siapa sebenarnya kakek tua misterius yang mengaku
bernama Samudi itu?
Hingga
kini, gua di Bukit Katerina dan kakek Samudi tetap menjadi misteri yang entah
kapan dapat terungkap.(Red/Tim).
Post a Comment