Dimana Letak Salah Kaprahnya

Jakarta.Metro Sumut
Apa yang disampaikan oleh Presiden itu menarik dikomentari karena berpeluang mengaburkan makna asasi DT yang lazim dipahami oleh komunitas pelabuhan global. Dalam bahasa lain, telah terjadi salah kaprah.

Di mana letak salah kaprahnya? Pertama, DT tidak bersangkut-paut dengan alat bongkar-muat (B/M), dalam hal ini crane. Sayangnya Presiden tidak secara spesifik menyebut crane mana yang ia maksud.

Informasi yang dihimpun Media ini, Alat B/M di terminal peti kemas yang biasa disebut crane ada dua, yaitu "quay-side container crane" dan "rubber-tired gantry crane". Jika kedua alat tersebut yang dimaksud oleh Presiden sebagai pemicu tingginya DT di Pelabuhan Belawan Medan, Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar dan Tanjung Perak Surabaya, maka rasanya kurang tepat.

Ambil contoh quay container crane (QCC), pengoperasiannya sudah disesuaikan dengan standar yang berlaku umum di dunia kepelabuhanan, yaitu 27-30 boks/jam/crane.

Rasanya hampir tidak mungkin terjadi sogok-menyogok di sini, mengingat ini merupakan indikator utama kinerja sebuah pelabuhan dan terkait erat dengan "waiting time" (WT) kapal. WT adalah masa tunggu kapal sebelum bersandar di dermaga pelabuhan. Pelabuhan yang baik, WTnya rendah. Operator pelabuhan (Pelindo) mengetahu hal ini dengan amat baik.

Sementara RTG, alat B/M ini berada di lapangan penumpukan peti kemas atau container yard (CY) dan dipergunakan untuk lift-off dan lift-on peti kemas yang diangkut oleh head truck dari pinggir dermaga.


Kembali, sulit diterima akal sehat bila pada titik ini terjadi sogok-menyogok. Pasalnya, operator RTG hanya menurunkan peti kemas (lift-off) yang seluruhnya belum memiliki dokumen impor. Bila pengurusan dokumen impor (Pemberitahuan Impor Barang/PIB) ini selesai, sang operator akan menaikkan (lift-on) peti kemas ke atas truk yang akan membawanya keluar area pelabuhan menuju shippernya.(Melvy/Sandy).

Tidak ada komentar