MK: Pengembang Wajib Fasilitasi Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rusun
Jakarta.Metro Sumut
Pelaku pembangunan
(developer) rumah susun (rusun) wajib memfasilitasi pembentukkan Perhimpunan
Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) paling lambat setahun, meski
satuan rumah susun (sarusun) belum sepenuhnya terjual. Rabu (11/05/2016).
Informasi yang dihimpun
Media ini, Demikian inti amar Putusan Mahkamah atas pengujian Pasal 75 ayat (1)
UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rusun) yang dimohonkan 7 pemilik
sarusun yakni Kahar Winardi, Wandy Gunawan, Chuzairin Pasaribu, Lanny Tjahjadi,
Henry Kurniawan, Pan Esther, Liana Atmadibrata.
“Mengabulkan permohonan
para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 75 ayat (1) UU Rumah Susun
sepanjang frasa ‘Pasal 59 ayat (2)’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai yang dimaksud dengan
‘masa transisi’ dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tidak diartikan 1 tahun
tanpa dikaitkan dengan belum terjualnya seluruh satuan rumah susun,” ujar Ketua
MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan bernomor 21/PUU-XIII/2015 di
Gedung MK, Selasa (10/5).
Pasal 75 ayat (1)
berbunyi “Pelaku pembangunan wajib memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling
lambat sebelum masa transisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2)
berakhir.” Pasal 59 ayat (2)-nya menyebut “Masa transisi berakhir paling lama
satu tahun sejak penyerahan pertama kali pemilik Sarusun.”
Sebelumnya, pasal itu
dinilai para Pemohon telah melemahkan posisi pemilik sarusun. Bagi para pemohon
pembentukan P3SRS tidak perlu difasilitasi oleh pelaku pembangunan. Sebab,
penyerahan kewajiban fasilitasi pembentukan P3SRS kepada pelaku pembangunan
rusun justru menghambat dan menghalangi pemilik sarusun melaksanakan
kewajibannya membentuk PPPSRS.
Organisasi PPPSRS
merupakan organ yang dibentuk untuk mengorganisasi pengelolaan rumah susun yang
meliputi kegiatan operasional pemeliharaan dan perawatan bagian bersama, benda
bersama, dan tanah bersama. Dengan adanya peran strategis dan nilai ekonomis yang
dimiliki PPPSRS ini, para Pemohon takut developer Rusun akan memanfaatkan
penguasaan atas PPPSRS untuk meraup keuntungan.
Namun, dalam
pertimbangannya, Mahkamah tidak sepenuhnya sependapat dengan para pemohon.
Sebab, Mahkamah melihat ketidakpastian hukum yang dirasakan para Pemohon bukan
terjadi akibat adanya frasa “pelaku pembangunan” dalam Pasal 75 ayat (1) UU
Rusun yang diartikan Pemohon sebagai selain Pemerintah. Menurut Mahkamah,
ketidakpastian hukum tersebut terjadi akibat adanya pertentangan antara Pasal
59 ayat (2) UU Rumah Susun dan Penjelasannya dalam mendefinisikan pengertian
“masa transisi” itu.
“Hal tersebut semakin
membingungkan ketika Pasal 75 ayat (1) memerintahkan pelaku pembangunan wajib
memfasilitasi terbentuknya PPPSRS paling lambat sebelum “masa transisi”
sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) berakhir,” ujar Hakim Konstitusi I
Gede Dewa Palguna.
Menurut Mahkamah adanya
perbedaan bahkan pertentangan tersebut dapat dijadikan pembenaran oleh pelaku
pembangunan untuk bertindak selaku pengelola dengan alasan Sarusun belum
seluruhnya terjual meskipun sudah melampaui jangka waktu satu tahun. Sementara,
pelaku pembangunan diwajibkan Pasal 59 ayat (1) UU Rumah Susun menjadi
pengelola selama masa transisi.
Pemerintah Memfasilitasi.
Dalam kondisi seperti ini, Mahkamah menilai meski bukan pelaku pembangunan
sarusun komersil, Pemerintah tetap harus turut bertanggung jawab untuk
memfasilitasi pembentukan P3SRS. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah ketika telah
terbukti pelaku pembangunan telah dengan sengaja menyalahartikan tafsir kata
“memfasilitasi” dalam Pasal 75 ayat (1) UU Rusun, sehingga pelaku pembangunan
tidak lagi memfasilitasi pembentukan P3SRS.
Mahkamah beralasan
fungsi pemerintah dalam hal ini melakukan pembinaan yang mencakup beberapa
aspek yakni pengendalian dan pengawasan apabila terdapat cukup bukti pelaku
pembangunan sengaja menafsirkan pengertian ‘memfasilitasi’ dalam Pasal 75 ayat
(1) UU Rumah Susun sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan maksud
ketentuan tersebut.
“Pemerintah dibenarkan
oleh Undang-Undang a quo mengambil langkah-langkah konkrit untuk menjamin
pelaksanaan UU Rumah Susun sesuai dengan maksud dan tujuannya,” tambah Palguna.(Sandy).
Post a Comment