Asal Usul Nama Hamparan Perak Dan Hubungannya Dengan Deli

Hamparan Perak.Metro Sumut
Kita tidak mendapatkan data memadai tentang Hamparan Perak dari sumber-sumber Cina ataupun Eropa. Dalam hal ini, satu-satunya dokumen yang dapat kita andalkan adalah Naskah Tua Riwayat Hamparan Perak. Rabu (15/03/2017).

Buku yang menceritakan silsilah datuk-datuk Hamparan Perak ini terbuat dari kulit alim (kulit kayu) dan ditulis dalam bahasa dan aksara Karo. Menurut sumber Sepuluh Dua Kuta, teks naskah ini disalin ke dalam bahasa Melayu (tulisan arab melayu) pada tahun 1274 H (kira-kira tahun 1857 M).

Kemudian disalin lagi dan diteruskan riwayatnya ke dalam bahasa Melayu beraksara Latin pada 29 Desember 1916. Naskah aslinya musnah akibat revolusi sosial pada 04 Maret 1946, namun Panitia Hari Jadi Kota Medan memiliki salinannya dalam bahasa Melayu. Patut dibanggakan, naskah tua ini menjadi salah satu alat bukti pendukung dalam menemukan Hari Jadi Kota Medan yang disepakati Tim Panitia Hari Jadi Kota Medan jatuh pada tanggal 01 Juli 1590 menggeser hari jadi Gementee Medan pada 01 April 1909.

Menurut teks tua tersebut, Datuk-datuk Hamparan Perak merupakan keturunan langsung dari Sisinga Manga Raja yang bertahta di Bakkara. Ceritanya dapat diuraikan sbb :

Si Singamangaraja (diperkirakan sbg Ayah dari SM Raja I) adalah raja yang berkuasa di Bakkara. Beliau menikahi Pawang Najeli yang merupakan putri Jalipa, seorang tokoh besar. Dari perkawinannya tersebut SM Raja memperoleh dua orang anak. Yang Pertama bernama Tuan Menjolong dan anak kedua diberi nama Tuan Si Raja Hita.

Sebagai anak pertama, Tuan Menjolong otomatis dinobatkan sebagai penerus tahta, sementara Si Raja Hita, -karena tidak punya pengharapan lagi menjadi raja di Bakkara- memutuskan mengembara bersama neneknya Jalipa.

Di Tanah Karo, tepatnya di Gunung Sibayak, Si Raja Hita kehilangan neneknya secara misterius. Dengan masygul dia kembali ke Bakkara, menikah dan membuat perkampungan di Pakan. Di sini ke 3 anaknya lahir. Masing-masing diberi nama Patimpus, Pakan dan Balige.

Patimpus mewarisi konsep ayahnya Si Raja Hita untuk mendirikan kampung di daerah lain.  Adiknya Pakan menjadi raja di Pekan, dan Balige menjadi raja pula di Balige, namun Patimpus lebih memilih memikul tanggung jawab yang dibebankan ayahnya, Si Raja Hita untuk mengembara. Terlebih-lebih lagi untuk menemukan dan membesarkan nama kakek buyutnya Jalipa yang ternyata ada di Kaban.

Ditiap tempat yang ditemukannya Patimpus menikah dan mempunyai anak. Di setiap tempat pula dia membuat perkampungan dan merajakan anak-anaknya di kampung-kampung seperti Benara, Kuluhu, Solahan, Paropo, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji dan Durian Kerajaan. Patimpus juga secara gemilang berjasa mendamaikan Kaban dan Teran yang ditimpa huru hara. Dia juga membesarkan nama Jalipa di Kaban, dan kemudian menjadi pemimpin tertinggi di dataran Karo.

Setelah merajakan salah seorang anaknya di Durian Kerajaan, Patimpus kembali ke Aji Jahe. Dari situ dia mendengar kesaktian seorang ulama besar dari Tanah Jawa bernama Datuk Kota Bangun. Karena penasaran, Patimpus meninggalkan Aji Jahe untuk bertemu dengan sang Datuk. Inilah salah satu adegan paling masyhur dalam naskah Hamparan Perak.

Butuh waktu satu tahun bagi Patimpus untuk bertemu Datuk Kota Bangun. Selama perjalanannya menuju Kota Bangun, Patimpus banyak mendirikan kampung-kampung untuk kaumnya.

Setelah menetap selama 3 bulan di Sei Sikambing, Guru Patimpus pergi ke Kota Bangun dan berhasil menemui sang Datuk. Adegan paling menyita perhatian tampak ketika dia menantang sang datuk dalam uji kelayakan dan kepatutan sebagai seorang sakti. Datuk menyambut baik tantangan Patimpus dengan keyakinan sebagai taruhannya. Jika kalah Patimpus harus masuk Islam, tapi jika menang, sang Datuk yang masuk Batak.

Singkat kata, Patimpus kalah dalam adu kesaktian tersebut dan harus memenuhi janjinya untuk masuk Islam. Namun Patimpus meminta tempo 3 bulan karena harus kembali ke gunung untuk memberitahu kaumnya sekaligus untuk mengadakan acara adat perpisahan. Disinilah kesaktian Datuk Kota Bangun lagi-lagi menggetarkan hati Patimpus. Waktu perjalanan ke gunung dipangkas menjadi sekejap mata, dan Patimpus hanya diberi tempo 15 hari untuk mengadakan acara adat di gunung sana. Setelah kembali dari gunung, Patimpus kemudian menjadi murid Datuk Kota Bangun selama 3 tahun.

Setelah masuk Islam, nama Guru Patimpus menjadi sangat familiar di lingkungannya. Dia pun sering bolak-balik antara Kota Bangun-Sei Sikambing dan kadang-kadang ke gunung. Pada suatu kesempatan, Patimpus melewati istana Pulau Brayan dan melihat putri Pulau Brayan keturunan Panglima Hali bermarga Tarigan sedang bermain bersama dayang-dayangnya. Dayang-dayangnya secara spontan menunjuk kepada Guru Patimpus sembari bergurau bahwa itulah calon suami Tuan Putri, seorang Batak yang masuk Islam. Tuan Putri tidak terima dan malah meludah ke tanah sambil menyatakan ketidaksudiannya. Mendengar cemooh itu, Patimpus sakit hati. Dia pulang ke Sei Sikambing dan mengguna-gunai sang Putri sehingga menjadi gila. Pada akhirnya Patimpus jualah yang berperan sebagai tabib yang berhasil menyembuhkan sang putri. Sebagai imbalannya, sang Raja menikahkan putrinya dengan Guru Patimpus. Dari hasil pernikahan ini Patimpus memperoleh dua orang anak. Yang tua bernama Kolok dan yang kecil dinamai kecik. Kedua anak ini kemudian dikirim Patimpus ke Aceh untuk belajar Al Qur’an.

Kedua putra Patimpus sangat cepat menguasai Al Qur’an sehingga masyhurlah nama keduanya hingga sampai kepada Sultan Aceh. Ketika menghadap Sultan Aceh, kedua anak Patimpus menyatakan bahwa mereka berasal dari Deli dan ayahnya adalah penguasa di Sepuluh Dua Kuta. Sebuah pernyataan yang menunjukkan bahwa Patimpus berkuasa secara politik di Sepuluh Dua Kuta.

Sultan Aceh memberikan nama baru kepada anak-anak Patimpus keturunan Panglima Hali (Raja Pulau Brayan) tersebut. Yang tua diberi nama Hafdza Tua dan yang muda diberi nama Hafdza Muda, karena keduanya hapal Al Qur’an. Sultan Aceh kemudian meminta keduanya kembali ke Tanah Deli karena Guru Patimpus dikabarkan dalam keadaan uzur.

Patimpus menyambut kedatangan anaknya dengan penuh sukacita. Beliau mengumpulkan seluruh kaumnya dari pesisir hingga ke gunung untuk merayakan keberhasilan anaknya dalam menuntut ilmu di Aceh. Namun tak berapa lama kemudian Patimpus pun meninggal dunia dan dimakamkan di Pulau Bening (belakangan para ahli dari Unimed menyatakan telah menemukan makam Guru Patimpus di Hamparan Perak).

Hafdza Tua tidak berminat menjadi penerus tahta karena dia mengaku lebih tertarik menjadi ulama, sehingga tampuk kekuasaan tersebut diserahkan kepada Hafdza Muda. Hafdza Tua memilih menghabiskan usianya dengan berkebun di Sei Sikambing. Kisahnya pun tamat dalam silsilah karena tidak mempunyai anak. Dinasti XII Kuta diteruskan oleh Hafdza Muda yang memerintah di Medan.

Setelah Hafdza Muda meninggal dunia, kekuasaan beralih ke tangan anaknya yang bernama Muhammad Syah. Dia mempunyai 3 anak masing-masing bernama Masanah, Ahmad dan Mahmud.

Muhammad Syah membuat kampung di Kuala Berkalla dan Terjun. Anak pertama dan kedua mempunyai perangai yang buruk sehingga Muhammad Syah mengandalkan anak paling kecil sebagai penerusnya. Karena khawatir dengan ancaman kedua anaknya yang jahat itu, Muhammad Syah merajakan anaknya yang paling kecil (Mahmud) di Terjun. Secara otomatis pindahlah ibukota Sepuluh Dua Kota ke Terjun. Sementara Musannah tinggal di Pulau Bening dan Ahmad di Medan.

Datuk Mahmud mempunyai 3 orang anak pula. Yang pertama diberi nama Ali, yang kedua Zainal dan yang ketiga tidak disebutkan namanya, tetapi mati dalam keadaan perawan.

Setelah kematian Datuk Mahmud, anaknya yang pertama yang diberi gelar Datuk Ali mengalihkan pusat pemerintahan ke Bulu Cina. Dia mempunyai 2 anak. Yang tua bernama Banu Hasyim sedangkan yang kecil seorang perempuan yang diberi nama Bujang Sembah yang kelak menikah dengan Sultan Amaluddin.

Banu Hasyim membuat perkampungan di Pangkalan Buluh. Dan sepeninggal Datuk Ali, Banu Hasyim mengambil alih tahta dan memindahkan XII Kota ke Pangkalan Buluh.

Generasi ke 5 dari Patimpus ini mempunyai 3 orang anak. Masing-masing bernama Sultan Ahmad, Seri Kemala dan Seri Banun.

Banu Hasyim mati muda sementara Sultan Ahmad masih kecil. Karenanya kerajaan dijabat sementara oleh Datuk Bandar Sapai hingga Sultan Ahmad dewasa. Dalam masa itu pula, ibu Sultan Ahmad menikah dengan Datuk Tengah dari Klumpang. Beliau menetap di sana dan berkubur di sana juga.

Setelah cukup umurnya Sultan Ahmad diangkat oleh Sultan Amaluddin Mangendar (Sultan Deli) untuk memimpin XII Kota dengan gelar Panglima Setia Raja Wazir XII Kota.  Nyatalah bahwa XII Kuta sudah menjadi salah satu urung dalam Kesultanan Deli.

Karena Pangkalan Buluh tenggelam Datuk memindahkan istananya ke Sei Lama. Namun tak berapa lama tempat itu pun tenggelam pula. Pindahlah Datuk Setia Raja membuat kampung di tempat lain. Konon pada saat membuka perkampungan tsb, Datuk Setia Raja menemukan selembar perak yang terhampar di situ. Itulah sebabnya kenapa tempat ini disebut sebagai Hamparan Perak.

Dari cerita di atas dapat kita simpulkan bahwa Datuk Setia Raja adalah pendiri kampung Hamparan Perak. Beliau meninggal dalam usia 119 tahun. Beliaulah datuk pertama yang menetap di Hamparan Perak. Kemudian secara beruntun diteruskan oleh Datuk Adil, Datuk Gombak, Datuk Hafiz Haberham, Datuk Syariful Azas Haberham dan sekarang Datuk Adil Freddy Haberham. Secara berurut Silsilah Datuk-datuk / Wazir Urung XII Kota dapat dilihat sbb :
    Si Singamangaraja
    Tuan Si Raja Hita
    Guru Patimpus
    Datuk Hafiz Muda
    Datuk Muhammad Syah Darat
    Datuk Mahmud
    Datuk Ali
    Banu Hasyim
    Sultan Sri Ahmad gelar Datuk Setia Raja
    Datuk Adil
    Datuk Gombak
    Datuk Hafiz Haberham
    Datuk Syariful Azas Haberham
    Datuk Adil Freddy Haberham

Sampai saat ini Sepuluh Dua Kuta masih eksis dan dijabat oleh Datuk Adil Freddy Haberham, meski kekuasaannya hanya dalam lingkup adat resam melayu saja yang bersama tiga datuk lainnya berhak mengangkat Sultan Deli. Sementara sebelas kuta yang lain tidak dapat kita ketahui perkembangannya kecuali sedikit. Bagi yang berminat silakan menelusuri kuta-kuta peninggalan Patimpus di bawah ini :

    Benara
    Kuluhu
    Batu
    Salahan
    Paropa
    Liang Tanah
    Tongging
    Aji Jahe (Kaban Jahe)
    Batu Karang
    Perbaji
    Durian Kerajaan

 (Hamnas/Red).

Tidak ada komentar