Kebijakan Proyek Energi Menggunakan Batu Bara Menuai Kritik
Jakarta.Metro
Sumut
Sejumlah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengkritik kebijakan proyek energi nasional
35.000 MW lantaran masih menggunakan energi batu bara. Mereka yang tergabung
dalam Koalisi Break Free meminta pemerintah untuk menghentikan penggunaan
energi batu bara dan segera beralih sepenuhnya kepada energi baru terbarukan.
Tak cuma mulai menghentikan penggunaan batu bara, koalisi juga mendesak
pemerintah mengubah kebijakan penggunaan batu bara dalam proyek energi 35.000
MW. Selasa (10/05/2016).
Informasi
yang dihimpun Media ini, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Hendrik
Siregar mengatakan, pemerintah mestinya mengubah ketentuan dalam PP Nomor 79
Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) terutama terkait dengan
penyediaan dan pemanfaatan energi batu bara sebagai dalam rangka mencapai
bauran energi primer yang optimal pada tahun 2025 dan 2050 nanti.
“Perubahan
mendasar harus segera dilakukan. Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan target
rasio elektrifikasi yang berpondasi fosil harus diganti,” ujarnya dalam
konferensi pers di Jakarta, Senin (9/5).
Pasal
9 huruf f PP Nomor 79 Tahun 2014 mengatur komposisi bauran energi primer pada
tahun 2025 dan tahun 2050. Dalam ayat (3) aturan tersebut dinyatakan bahwa pada
tahun 2025 peran batu bara paling minim 30 persen. Sementara pada tahun 2050,
peran batu bara paling minim 25 persen. Terhadap regulasi tersebut, Hendrik
mendorong pemerintah melakukan revisi terhadap aturan yang menjadi payung hukum
pada bidang energi. Selain itu, ia juga mendorong revisi KEN tersebut lebih
fokus pada energi terbarukan.
Memang,
hingga saat ini Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagai aturan yang menjadi
pedoman pelaksaan serta pengelolaan menyeluruh pada sektor energi masih belum
ditetapkan. Prinsipnya, KEN menjadi pedoman penyusunan RUEN. Namun, lanjut
Hendrik, hal itu bukan menjadi permasalahan bila RUEN nantinya menghilangkan
penggunaan sumber energi, khususnya batu bara. “Toh KEN juga masih bisa
direvisi kembali, jangan menjadi kaku,” tambahnya.
Berbagai
upaya untuk memberikan perspektif pada pemerintah juga telah dilakukan oleh
koalisi. Dikatakan Hendrik, sekira awal tahun 2015 kemarin ia pernah melakukan
‘lobby’ dengan salah satu anggota Dewan Energi Nasional (DEN) A Sonny Keraf.
Namun upaya itu belum membuahkan hasil, padahal koalisi berharap dilibatkan
dalam memberikan pendapat pada penyusunan RUEN. Koalisi janji akan terus kawal
persoalan ini.
“Energi
terbarukan mesti menjadi prioritas dan bisnis utama dalam mengejar target rasio
elektrifikasi dan pertumbuhan ekonomi. Di kemudian hari nanti pemerintahan
selanjutnya dan rakyat yang akan menanggung masalahnya,” katanya.
Di
sisi lain, koalisi menilai pembangunan sejumlah PLTU serta perluasan tambang
batu bara dalam proyek 35.000 MW tidak memperhatikan dampak sosial dan
lingkungan yang serius. Saat ini, 42 PLTU yang telah beroperasi di Indonesia
telah menghasilkan polutan berbahaya seperti merkuri, arsenik, serta PM 2,5 dan
PM 10.
Kedua
jenis partikulat berbahaya sebagai akibat dari pembakaran batu bara dapat
menyebar hingga radius 500-1000 km dari lokasi PLTU. Namun, bahaya partikulat
itu tak cuma mengancam warga sekitar wilayah PLTU, melainkan warga di wilayah
yang tidak terdapat PLTU juga terncam terkena dampat tersebut.
Selain
itu, perluasan pembongkaran dan penghancuran kawasan hutan lindung pada konsesi
tambang di wilayah Kalimantan atau daerah lainnya di Indonesia dinilai
berdampak pada kerusakan bentang alam. Juru Bicara Eksekutif Nasional WALHI,
Khalisah Khalid berpendapat, perluasan ekspansi industri batu bara untuk
kepentingan ekspor dan industri membuat ketergantungan akan energi ‘kotor’
semakin tinggi. Padahal, catatan WALHI menunjukkan bahwa sumber energi ‘bersih’
terbarukan jauh lebih melimpah dan bahkan lebih mudah diakses oleh rakyat.
“Dengan
semakin meningkat dan masifnya bencana ekologis, kita tidak memiliki waktu yang
lebih lama khususnya bagi pemerintah untuk segera memutuskan beralih dari
energi ‘kotor’ batu bara ke energi ‘bersih’ dan terbarukan demi generasi hari
ini dan akan datang,” ujarnya.
Di
tempat yang sama, Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting menegaskan
bahwa Indonesia mesti segera menghentikan ketergantungan yang sangat tinggi
terhadap energi batu bara. Menurutnya, proyek energi 35.000MW yang sebagian
besar menggunakan sumber energi batu bara akan mengancam masa depan Indonesia
yang seharusnya bersih dan aman.
Sebagai
contoh, Tiongkok dan India kini mulai mengurangi ketergantungan meraka terhadap
bahan bakar fosil lantaran membuat rakyat di negara mereka menanggung polusi
udara akibat kebijakan energi yang keliru pada saat itu. “Dengan ancaman
mematikan perubahan iklim. Kita tidak punya kemewahan waktu untuk berlama-lama
menggunakan energi fosil yang kotor. Pemerintah harus membuat target dan
membangun proses transisi yang adil untuk segera beralih menuju energi bersih
terbarukan,” tutup Ginting.
Mendapat
Dukungan
Di
tempat yang sama, Ketua Komite Pengarah Indonesia Bergerak Menyelamatkan Bumi
(Siaga Bumi) Din Syamsudin turut mendukung langkah koalisi dalam upaya
menyelamatkan bumi dari krisis ekologi. Menurutnya, pemerintah mestinya
mengubah paradigma dengan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan makna
(sustainable development meaning) dalam setiap menetapkan kebijakan. “Saya mendukung
langkah penyelematan bumi ini,” ujarnya mantap.
Lebih
lanjut, mantan Ketua PP Muhammadiyah itu berpendapat meski kebijakan proyek
energi 35.000 MW punya tujuan baik yakni untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Namun, jika kebijakan tersebut dibuat tanpa paradigma berkelanjutan
dengan makna, ia memastikan kebijakan tersebut hanya akan mengekploitasi
kekayaan bangsa. Untuk itu, pemerintah mesti punya kemauan secara moral dan
politik untuk menggunakan energi baru terbarukan sebagai sumber utama. “Itu
akan wariskan kerusakan kepada bangsa nantinya,” sambungnya.
Meski
sepakat dan mendukung gerakan untuk menggunakan energi baru terbarukan, Din
sadar betul kalau upaya ini tak bisa serta merta dilaksanakan dalam waktu
dekat. Sebab, sekira November 2015 kemarin dalam konferensi PBB tentang
perubahan iklim (Conference of Parties/ COP-21) di Paris, Perancis, Din
berkesempatan memberikan pendapatnya dalam sesi Interfaith Dialogue: Faith
Action for Climate Solution yang membahas upaya dunia menggunakan sumber energi
baru terbarukan.
Sebagai
tindak lanjutnya, melalui LSM Religions for Peace dibuat petisi online yang per
Senin (9/5) sudah mencapai angka 335.000-an pendukung. Petisi itu dalam rangka
mendukung upaya serta mendesak ketetapan perubahan iklim dengan target 100
persen energi terbarukan pada tahun 2050. “Ada waktu belasan tahun berkreasi
mengolah energi baru terbarukan. Ada energi matahari, ombak, angin, panas bumi,
hingga nabati. Kita pasti bisa,” tutupnya.
Untuk
sekedar informasi, Koalisi Break Free akan menggelar aksi besar-besaran pada
Rabu 11 Mei mendatang di depan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Koalisi
mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turun ke jalan dan menggelar aksi dan
melakukan mobilisasi untuk menyuarakan bahwa eksploitasi energi batu bara akan
membawa dampak yang sangat buruk kepada generasi yang akan datang.(Melvy).
Post a Comment