KPK Kembangkan Kasus Suap Raperda
Jakarta.Metro
Sumut
Kasus
dugaan suap pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang kini disidik KPK
berkembang ke dugaan "barter" atau timbal balik pengeluaran izin
pelaksanaan reklamasi. Jumat (13/05/2016).
Informasi
yang dihimpun Media ini, Dugaan "barter" yang dimaksud adalah dugaan
pemberian tambahan kontribusi 15 persen dari pengembang dengan penerbitan izin
pelaksaan reklamasi. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
meminta tambahan kontribusi di awal sebelum penerbitan izin pelaksanaan
reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Ketua
KPK Agus Rahardjo mengatakan terbuka peluang untuk mengembangkan kasus ini
lebih lanjut. "Jadi, kita sedang menelusuri dasar hukumnya barter apa, Ada
atau tidak payung hukumnya. Proses sedang berjalan lah. Dari situ, nanti kita
melangkah. Makanya, digali, mudah-mudahan kita bisa temukan “ Katanya.
Sementara
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak menjelaskan meski
penyidik hingga kini masih fokus pada dugaan suap pembahasan Raperda,
pengembangan kasus dimungkinkan berdasarkan keterangan-keterangan para saksi.
Tentunya, penyidik juga akan mendalami semua hal yang terkait dengan izin
reklamasi.
Sebenarnya,
mengenai "barter" ini sudah pula ditanyakan penyidik dalam
pemeriksaan mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi. Mengacu
pernyataan pengacara Sanusi, Krisna Murthi, di ujung pemeriksaan, penyidik
sempat menanyakan apakah Sanusi mengetahui tentang penggusuran Kalijodo yang
dibiayai pihak swasta (pengembang reklamasi).
Namun,
Krisna mengaku kliennya kaget ketika ditanyakan hal itu. Ia mengungkapkan,
Sanusi tidak tahu-menahu mengenai apa komitmen antara pengembang dengan Ahok
atau pihak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Sanusi hanya mengetahui
mengenai pertemuannya dengan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land (APL),
Ariesman Widjaja.
Setidaknya,
Ahok telah mengeluarkan empat izin pelaksanaan reklamasi, yaitu PT Muara Wisesa
Samudra (cucu perusahaan PT APL) untuk pelaksanaan reklamasi Pulau G, PT
Jakarta Propertindo Pulau F, PT Jaladri Kartika Pakci Pulau I, dan PT
Pembangunan Jaya Ancol Pulau K. Sebelum Ahok, ada izin pelaksaan reklamasi
Pulau C dan D yang telah diterbitkan untuk PT Kapuk Naga Indah (anak usaha
Agung Sedayu Group).
Diduga,
sebelum mengeluarkan izin, Ahok meminta para pengembang reklamasi menyetorkan
tambahan kontribusi di awal. Diduga tambahan kontribusi itu dikonversi menjadi
beberapa proyek. Diduga pula ada yang digunakan untuk biaya penggusuran
Kalijodo. Padahal, Raperda yang memuat ketentuan tambahan kontribusi 15 persen
belum disahkan Akan tetapi, Ahok sudah membantah jika penggusuran Kalijodo
menggunakan biaya dari pengembang reklamasi.
Direktur
Legal APL Miarni Ang yang hari ini diperiksa KPK pun mengaku tidak tahu-menahu
soal adanya pengeluaran dana untuk penggusuran Kalijodo. Herjanto Widjaja
Lowardi, pegawai legal APL yang juga kuasa hukum Miarni menambahkan, pihaknya
tidak mengetahui bila ada kesepakatan antara APL dan Pemprov DKI Jakarta untuk
membayar tambahan kontribusi di awal." Sekarang
gini, kalau di bayar di depan, kan nggak mungkin lisan, harusnya ada tertulis.
Dari dulu Pak Ahok selalu begitu. Kita juga selalu mendukung apa yang dimau
Pemprov, karena kita bukan orang yang membangkang. Jadi, jangan berpikiran,
jika ada pembahasan itu, kemudian dijadikan isu. Nggak ada. Tolong ingat, untuk
APL itu bukan masalah yang harus diungkapkan," terangnya.
Sebelumnya,
pengacara Ariesman, Adardam Achyar, melalui pesan singkat kepada hukumonline
juga telah membantah jika APL membiayai penggusuran Kalijodo. Ia juga tidak
mengetahui perihal realisasi tambahan kontribusi di awal dalam bentuk
pembiayaan proyek yang nanti akan dikonversikan dan dikurangkan ke dalam
besaran tambahan kontribusi pengembang.
Sebaliknya,
Adardam mempertanyakan, bagaimana bisa ada realisasi tambahan kontribusi 15
persen di awal jika Raperda yang mengatur mengenai tambahan kontribusi belum
disahkan di DPRD DKI Jakarta. "Kalau bicara 15 persen, kan 15 persen belum
disahkan dalam bentuk Perda. Jadi, apa yang mau diimplementasikan?,"
ucapnya.
Memang,
pembahasan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara
Jakarta yang memuat ketentuan kontribusi tambahan 15 persen untuk para
pengembang reklamasi masih belum disahkan. Pembahasan Raperda masih terganjal
karena belum adanya kesepakatan antara DPRD dan Pemprov DKI Jakarta.
Mulanya,
ketidaksepakatan hanya mengenai besaran tambahan kontribusi. DPRD DKI Jakarta
meminta agar tambahan kontribusi diturunkan menjadi 5 persen dan dapat diambil
di awal dengan mengkonversi besaran kontribusi tersebut. Namun, Pemprov DKI
Jakarta masih bertahan dengan besaran tambahan kontribus 15 persen.
Entah
mengapa, setelah Sanusi ditangkap KPK atas dugaan suap pembahasan Raperda
tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta
Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai
Utara Jakarta, ketidaksepakatan DPRD DKI Jakarta beralih ke seluruh poin
tentang tambahan kontribusi.
Usai
diperiksa KPK beberapa waktu lalu, Ketua Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta
Mohamad Taufik yang juga merupakan kakak Sanusi sempat menyatakan, tambahan
kontribusi tidak mempunyai dasar hukum. Padahal, sebelumnya, DPRD DKI Jakarta
justru berupaya menurunkan besaran kontribusi tambahan dari 15 persen menjadi 5
persen dan dapat diambil di awal.
Bahkan,
Taufik menambahkan, yang menjadi permasalahan dalam pembahasan Raperda adalah
mengenai izin. Ia berpendapat, untuk apa ketentuan terkait izin reklamasi
dimasukan di dalam Raperda. Toh, sebelum Raperda disahkan, Ahok telah
menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi untuk beberapa pengembang.
Belum
diketahui apa maksud pihak DPRD DKI Jakarta. Yang pasti, dalam kasus ini, KPK
telah menetapkan tiga orang tersangka, yakni Sanusi, Ariesman, dan Trinanda.
Sanusi diduga menerima suap dari Ariesman sejumlah Rp2 miliar melalui Trinanda.
Pemberian uang diduga untuk mempengaruhi pembahasan Raperda di DPRD DKI
Jakarta.
Dari
hasil penangkapan Sanusi, KPK menyita uang sejumlah Rp1,14 miliar. Kemudian,
KPK kembali menyita uang sekitar Rp850 juta dari ruang kerja Sanusi dan AS$10
ribu dari brankas Sanusi. Akan tetapi, dugaan suap ini telah dibantah pengacara
Sanusi maupun pengacara Ariesman. Uang AS$10 ribu juga diakui Sanusi sebagai
hasil bisnis properti.(Melvy).
Post a Comment