Jakarta.Metro Sumut
Bareskrim Polri
melimpahkan kasus korupsi proyek renovasi gedung C Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(Bapeten) ke Polda Metro Jaya. Senin (04/01/2016).
Informasi yang dihimpun
Media ini, Komisaris Ferdy Iriawan Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro membenarkan pelimpahan kasus
ini, Sekarang sedang dalam penyelidikan, pihaknya masih mengembangkan
penyelidikan dengan meminta keterangan sejumlah saksi dari kalangan internal
Bapeten maupun rekanan “ Ucapnya.
Komisaris Ferdy Iriawan
Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus
Polda mengatakan hasil pemeriksaan saksi-saksi itu kemudian dirumuskan dalam
berita acara pemeriksaan sementara. Dengan dasar berita acara ini, Polda Metro
meminta bantuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk
melakukan audit investigasi guna untuk menentukan nilai kerugian Negara, Sampai
saat ini, penghitungannya tengah dilakukan oleh BPKP, Nanti BPKP yang
menentukan ada atau tidaknya kerugian negara di proyek tersebut “ Katanya.
Proyek renovasi Gedung C
Bapeten yang terletak di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat menggunakan anggaran
tahun 2013. Nilai proyek itu diduga digelembungkan.
Bareskrim Polri mulai
mengusut kasus ini sejak Oktober 2014. Sejumlah saksi telah dimintai
keterangan. Belakangan ini, penyelidikan kasus ini mandeg. Hingga pertengahan
2015, belumada satupun pihak yang akan dibidik menjadi tersangka.
Lewat surat pengantar
bernomor B/4437/Tipidkor/VII/2015, akhirnya Bareskrim melimpahkan kasus ini
Polda Metro Jaya cq Dirreskrimsus Polda Metro Jaya.
Kepala Humas Polda
Metro, Komisaris Besar M Iqbal menjelaskan penyidik bakal menyelesaikan kasus
ini, Kasus ini merupakan limpahan dari Bareskrim, penyidik kita serius
menyelesaikan kasus korupsi di Bapeten tersebut. Tak ada yang dibeda-bedakan
penanganannya “ Jelasnya.
Untuk diketahui, Bapeten
termasuk salah satu instansi yang terkait dengan dwelling time di pelabuhan. Kasus
ini sedang diusut Polda Metro Jaya.
Bapeten ikut terlibat
dalam mengawasi dan mencegah bahan mengandung nuklir masuk ke Indonesia secara
ilegal. Perlunya izin dari Bapeten ini membuat panjang waktu bongkar-muat
(dwelling time) di pelabuhan.
Sejauh ini, Polda Metro
telah menyelesaikan penyidikan kasus dwelling time yang terkait perizinan di
Kementerian Perdagangan. Berkas perkara enam tersangka sudah dinyatakan
lengkap oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Tidak lama lagi, kasus
ini bakal disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Jaksa penuntut umum yang
ditunjuk telah menyelesaikan surat dakwaan untuk para tersangka.
Ferdy belum bersedia memberikan
penjelasan mengenai penyelidikan kasus dwelling time yang melibatkan Bapeten,
Ia beralasan masih fokus kepada kasus yang dilimpahkan dari Bareskrim, Kita
menunggu hasil penghitungan BPKP lebih dulu “ Tuturnya.
Sebelumnya, Direktur
Reserse Kriminal Khusus Polda Metro, Komisaris Besar Mujiyono mengungkapkan
tengah mengembangkan penyelidikan setelah menyelesaikan berkas kasus dwelling
time di Kementerian Perdagangan.
Namun, Mujiyono tidak
mengungkapkan instansi lain yang bakal menyusul diselidiki, Pengembangannya
dilakukan ke berbagai arah. Semua pihak yang diduga terlibat nantinya diperiksa
“ Terangnya.
Kilas Balik tentang Kasus
Pengadaan Mebelair Gedung C Pernah Diusut KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pernah mengusut kasus korupsi di tubuh Bapeten pada 2007 lalu. Komisi itu
lalu menetapkan tiga tersangka.
Salah satunya, anggota
DPR periode 1999-2004 Noor Adenan Razak. Anggota Fraksi Reformasi itu menerima
gratifikasi Rp 1,5 miliar untuk meloloskan anggaran belanja tambahan (ABT)
tahun 2004 yang diajukan Bapeten.
Nilai ABT itu mencapai
Rp 35 miliar. Rinciannya, Rp 5 miliar untuk pengadaan mebelair di gedung C
Bapeten, Rp 20 miliar untuk pengadaan tanah diklat di Cisarua Bogor, dan
sisanya Rp 10 miliar untuk pembangunan gedung diklat.
KPK menetapkan
Sekretaris Utama Bapeten, Hieronimus Abdul Salam dan pimpro pembangunan diklat
Cisarua Sugiyo Prasojo sebagai tersangka kasus mark-up pembangunan gedung
diklat itu.
Modusnya dengan
menggelembungan nilai pembelian tanah dari Rp 170 ribu/m2 menjadi Rp 312
ribu/m2. Bapeten mencairkan dana Rp 19,96 miliar untuk pembelian tanah. Namun
yang dibayarkan ke pemilik tanah hanya Rp 7,9 miliar.
Sisanya dibagi-bagi.
Kepala Bapeten pun kebagian. Abdul Salam mendapat bagian paling besar Rp 7,4
miliar.
Pengadilan Tipikor
Jakarta pada 22 Februari 2008 menyatakan Abdul Salam melakukan korupsi dan
menjatuhkan hukuman penjara selama 4 tahun, denda Rp 200 juta subside 6 tahun
kurungan dan membayar uang pengganti Rp 2,23 miliar subsidair 2 tahun kurungan.
Di tingkat banding,
hukuman terhadap Abdul Salam diperberat menjadi 6 tahun dan uang pengganti Rp
4,6 miliar.Namun Mahkamah Agung mengurangi hukuman terhadap Abdul Salam di
tingkat kasasi. Ia hanya diganjar hukuman 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta
dan membayar uang pengganti Rp 4,6 miliar.
Sementara, Adenan
divonis bersalah menerima suap dan diganjar hukuman penjara 3 tahun dan denda
Rp 150 juta. Ia tak mengajukan banding maupun kasasi atas putusan. Tapi
langsung mengajukan peninjuan kembali (PK). MA menyatakan menganggap putusan
Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat dan menolak PK Noor Adenan.
Putusan PK ini keluar
setelah Adenan wafat. Adenan meninggal 31 Juli 2009 meninggal dunia di RSUD
Ulin Banjarmasin. Sebelumnya dia menderita sakit komplikasi jantung, gagal
ginjal, dan kanker hati.
Awalnya, Adenan
menjalani hukuman di LP Cipinang. Namun, karena kondisi kesehatan menurun, dia
minta dipindah ke daerahnya di Kalimantan Selatan. Setelah mendapat
persetujuan, Adenan menjalani hukuman di ke Lapas Amuntai.(Sandy).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar