Munculnya Kerajaan Deli
Hamparan
Perak.Metro Sumut
Seperti
yang telah kita bahas di atas, Kerajaan Karo Islam yang dipimpin Datuk-datuk
Hamparan Perak akhirnya menaklukkan diri ke dalam sebuah kesultanan baru, yang
dikemudian hari dinamakan Kesultanan Deli. Hal ini terjadi semata-mata karena
ikatan perkawinan. Rabu (15/03/2017).
Ceritanya
begini, seorang bangsawan dari Delhi, India yang bernama Amir Muhammad
Badaruddin Khan menikahi Putri
Chandra Dewi, putri Sultan Samudra Pasai. Dari
pernikahan ini lahirlah Muhammad Dalik, yang kemudian karena kepahlawanannya
berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh.
Muhammad
Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana
Khuja Bintan (ada pula yang menyebutnya Laksamana Kuda Bintan atau Cut Bintan),
dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil di bekas wilayah Kerajaan Haru yang
berpusat di daerah sungai Lalang-Percut. Untuk memperkuat posisinya di daerah
tersebut, Gocah Pahlawan menikahi adik Raja Urung Sunggal (Datuk Itam Surbakti)
yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar tahun 1632.
Datuk
Sunggal merupakan salah satu dari empat kepala suku turunan Karo Islam.
Sebagaimana kita ketahui, di pesisir timur ada empat kesukuan besar hasil dari
migrasi penduduk Karo sbb :
Suka Piring, merga Bukit Sinuaji, Samura,
Sikemit, Sembiring.
Sepuluh Dua Kuta, merga Purba, Ketaren,
Guru Singa, Sinubulan, Ginting, Sembiring.
Senembah, merga Barus (mayoritas) dan
beberapa merga lain dalam jumlah kecil.
Serbanyaman, merga Sinulingga, Surbakti,
Gaja.

Suku Suka Piring.
Suku Hamparan Perak.
Suku Senembah.
Suku Sunggal.
Dengan
adanya pernikahan tersebut, ke empat datuk tersebut sepakat mengangkat
Laksamana tersebut menjadi raja. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli pun
berdiri, meski masih di bawah pengaruh Kesultanan Aceh.
Dalam
proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon
Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada
raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat yang terdiri dari 4
kepala suku tadi.
Sebagai
bukti sejarah, nama Deli tercantum dalam “Daghregister” VOC di Malaka sejak
April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi.
Berdasarkan cerita di atas, tidak berlebihan jika disebutkan nama Deli berasal
dari Delhi, karena pendirinya memang berasal dari sana.
Setelah
Gocah Pahlawan meninggal dunia, pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima
Perunggit mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan
kerajaannya dari Aceh. Istananya berada di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.
Pada
tahun 1720, putra mahkota Tuanku Umar diusir, sehingga menyebabkan pecahnya
Deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang. Setelah itu, Kesultanan Deli direbut
Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Aceh.
Pada
tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sharif
Ismail, menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada mereka. Namun pada tahun
1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh.
Kesultanan
Deli menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif terutama dengan
Belanda untuk mengurangi pengaruh kerajaan Aceh dan Siak. Masa kejayaan politik
luar negeri Kerajaan Deli berada di tangan Sultan Mahmud Perkasa Alam.
Pada
tanggal 6 Juli 1863, seorang pemuda Belanda, Jacobus Nienhuys dan beberapa
wakil perusahaan dagang JF van Leeuwen en Mainz & Co tiba di Deli. Nienhuys
tiba bersama Van der Valk dan Elliot. Ketiganya dipercaya oleh perusahaan yang
sama. Tapi begitu melihat kondisi Deli yang masih hutan belantara, Van der Valk
dan Elliot memilih pulang ke Jawa. Di Jawa, mereka biasa menyewa lahan rakyat
yang sudah digarap dan siap tanam.
Nienhuys
bertahan di Deli dan berkenalan dengan Sultan Mahmud Perkasa Alam. Akhirnya
Nienhuys diberikan hak pakai lahan selama 20 tahun tanpa perjanjian sewa.
Lokasinya berada di Tanjung Sepassai seluas 4.000 bahu. Satu bahu sama dengan
8.000 meter bujur sangkar. Dari sinilah sejarah perkebunan Deli dimulai. Tidak
butuh waktu yang lama, Tanah Deli menjadi primadona. Pengusaha, penanam modal
maupun buruh kasar dari seluruh dunia berbondong-bondong datang ke Deli.
Karena
kemajuan yang demikian hebat, istana Sultan pun dipindahkan dari Kampung Bahari
(Labuhan) ke Medan, menyusul selesainya pembangunan Istana Maimoon pada 18 Mei
1891. Kewibawaan Sultan sama sekali tidak jatuh. Tanah yang digarap pengusaha
Belanda dan yang kemudian dijadikan sebagai gementee Medan, merupakan tanah
hibah dari Sultan Deli, berdasarkan akte Hibah tertanggal 30 Nopember
1918. Tanah yang dimaksud terdiri dari 4
kampung, yakni Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan
Kampung Petisah Hilir. Sultan tidak merasa rugi dengan keputusannya tersebut.
Sejak
saat itu Belanda mengembangkan Kotapraja Medan sebagai pusat politik maupun
ekonominya. Medan pun menjadi salah satu kota terkemuka di Asia pada masa itu.
Pada saat yang sama Hamparan Perak masih berwajah yang sama ketika dipimpin
oleh Raja-raja Wazir XII Kuta. Tidak ada geliat kemajuan yang berarti.(Hamnas/Red).
Post a Comment