Pungli Sudah Berurat Dan Berakar Di Tubuh Birokrasi
Jakarta.Metro Sumut
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Farouk
Muhammad dalam pernyataan yang disampaikan di Jakarta, Minggu (23/10/2016),
mengingatkan, perlu diwaspadai dampak dari pemberantasan pungutan liar atau
pungli yang melibatkan pegawai bawahan (masif tetapi dengan nilai yang relatif
rendah), yakni pelayanan publik yang lambat (slow down).
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Farouk Muhammad
mengatakan praktik pungutan liar sudah berlangsung lama di dalam tubuh birokrasi,”
Perlu disadari praktik pungli sudah berlangsung lama, berurat dan berakar dalam
tubuh birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat “ Katanya.
Lanjut Farouk,
Harus ada pendekatan yang komprehensif dalam menangani "puncak gunung
es" ini. "Pembenahan sistem di satu sisi dan memberikan kesadaran
kepada masyarakat, di sisi yang lain," ujar senator asal Nusa Tenggara
Barat (NTB) ini “ Ucapnya.
Farouk menjelaskan, Pungli yang melibatkan oknum
pejabat yang terlibat dalam pembuatan keputusan, sejalan dengan diskresi yang
dimilikinya dapat mengalihkan objek keputusannya, baik yang menyangkut proyek
maupun pembinaan personel,” Keteladanan pimpinan atau atasan, motivasi dan
sugesti positif kepada pegawai secara kontinu serta penguatan ruhiyah melalui
pendalaman (deepening) nilai-nilai agama/spiritual, sebagai bagian dari
pengembangan sistem integritas di tempat kerja sangat baik untuk ditingkatkan
hingga berdampak pada terbentuknya karakter dan budaya kerja (corporate
culture) yang zero tolerance to pungli/torli “ Jelasnya.
Menurut Farouk,
Pungli harus dibedakan dengan torli atau setoran liar. Dalam hal pungli petugas
lebih aktif memungut atau setidak-tidaknya meminta dan mengharapkan pemberian
uang atau materi dari klien yang dilayani,” Sebaliknya, dalam hal torli, yang
aktif adalah klien dalam menyerahkan uang/materi sebagai tanda terima kasih,
walaupun tidak diminta oleh petugas pemberi layanan “ Ungkapnya.
Menanggapi gagasan yang hendak memberi penghargaan
kepada personel yang melaporkan warga yang melakukan torli dalam bentuk
insentif dengan nilai yang jauh lebih besar dari nilai pungli atau torli yang
umumnya, dia menganggap wacana tersebut pada tataran realitas seringkali
terjebak pada kondisi dilematis dan pragmatis,” Berdasarkan pengalaman saya
dalam memberantas pungli/torli dikhawatirkan efektivitasnya “ Ujarnya.
Farouk menambahkan, Terdapat kecenderungan
anggota/personel lebih baik menolak torli daripada memperkarakan yang bersangkutan
karena merasa kasihan,’ Atau dengan kata lain personel/anggota tidak ingin
'mendirikan mahligai di atas puing-puing kehancuran' orang lain “ Tambahnya.(Melvy).
Post a Comment